Hari dimulai dengan membuka mata dan bersiap ke sekolah. Berbagai kegiatan dilewati, akhirnya saya menunggu di pertigaan Cileunyi. Masih menggunakan seragam sekolah.
Sekitar pukul empat, Kakak datang diikuti dua motor lain. Ada A Kiki, A Hanif, dan sepupu saya--Putri. Kami langsung berangkat, dengan satu tujuan : Curug Cileat. Menyusul Ayah, Ibu, kedua adik, dan beberapa teman Kakak yang sudah berangkat duluan dari pagi.
Adzan Maghrib tengah berkumandang ketika kami sampai di Desa Cibago, Subang. Entah kenapa, rasanya saya agak khawatir karena senter tertinggal di sekolah. Kami akan mendaki gunung pada malam hari. Sesering apapun saya ke Cileat, ini pertama kalinya kami mendaki dalam keadaan gelap.
Tidak ingin sampai di tempat tujuan terlalu malam, kami mulai berangkat. Sesekali kami berhenti, mengikuti Putri yang kelelahan.
Agaknya saya terlalu percaya diri saat itu, karena saya tetap melaju di depan, ditemani oleh A Kiki sebagai penyinar jalan.
Jalan setapak telah dilalui, tiba-tiba saja kami sampai di persawahan. This is wrong way, I'm so stupid! Saya salah jalan. Seharusnya kami naik, terus melalui jalan setapak. Ini malah lewat jalan sawah, yang medannya jelas-jelas lebih sulit untuk dilewati.
Berbekal rasa percaya diri yang terlalu berlebihan, saya memutuskan untuk jalan sawah saja. Lagipula saya tahu letak pasti bukit yang kami tuju, meski dalam gelap seperti ini.
Dulu, jalan sawah ini juga merupakan salah satu jalur daki untuk ke Cileat. Ya, itu dulu. Kalau sekarang sudah tidak lagi. Terbukti, dari bagaimana sulitnya kami lewat sini. Berkali-kali saya jatuh ke dalam sawah.
"Yakin jalan sini?" A Kiki bertanya.
Terlampau gengsi sudah sering ke Cileat tapi salah jalan, saya berkelit. "Enggak, kok. Emang sengaja lewat sawah. Lewat sini juga bisa."
Entah berapa lama kami berjalan begitu, tak jua melihat jalan terusan untuk bisa ke jalur utama. Samar-samar, cahaya senter bisa terlihat, sekitar 20 meter dari tempat kami berada.
"OIII!" suara Kakak terdengar jelas memanggil.
"OIII!" kami menyahut balik.
"Kenapa bisa disitu?!"
"Salah jalan!"
Oh, yeah. Singkat kata. Kami memang tersesat.
"Ada jalan ke atas gak?!"
"Gak! Terjal banget!"
Saya mengumpat pelan. Mau mundur kejauhan, tetap maju takut salah jalan.
"Ini gimana?"
Melihat ke depan, bukit sudah tidak jauh. Diputuskan untuk cari jalan sendiri.
Kalau jalan di padang Sahara bisa melihat ilusi berupa oasis, di tengah kegelapan ini berkali-kali saya merasa melihat sinar senter. Padahal cuma kunang-kunang. Mendokusei.
Berkali-kali bolak-balik cari jalur lain. Jalan sawah memang sulit, sampai berkali-kali terpeleset jatuh(entah sudah bagaimana rupanya seragam yang saya pakai). Akhirnya, setelah semua itu...
"Gak ada jalan. Percuma. Udah, duduk aja dulu di batu!"
Kami benar-benar terjebak.
Saya sudah pesimis, malam ini akan tidur di saung yang kebetulan hanya beberapa meter dari tempat kami beristirahat sejenak. Besok pagi kembali ke Cibago, lewat jalan sawah lagi. Yeah. Tidak jadi ke Cileat.
Bagus sekali.
"Mel!"
Seseorang memanggil. Di atas sana, saya bisa melihat titik cahaya senter. Ternyata masih ada harapan.
"Tunggu di sana! Lagi cari jalan!"
My Dad is my hero. Kata-kata yang saya kutip dari kumpulan 'quotes' itu ternyata benar adanya.
Titik cahaya itu semakin dekat, saya merasa terselamatkan. Kalau diri ini tidak punya ego tinggi, dan sedang sendirian, mungkin sudah mewek saking senangnya.
"Coba lewat sana!"
Satu-satunya penerangan yang kami bawa kembali dinyalakan. Tak sengaja menyorot ke sawah bawah. Tahu-tahu, ada anjing yang menyalak.
Oh, no. Semakin lama kami di sini, bisa-bisa kami dikejar anjing.
"Mel, lewat sini!" Ayah kembali menyahut. Sawah di depan kami disorot cahaya. Kami berjalan, blablabla. Akhirnya sampai, di Paniisan Abah Danu.
Begitu sampai langsung jadi bahan ejekkan. Boro-boro mau menanggapi, bisa sampai sini saja rasanya ingin menangis.
Berjuta-juta maaf saya bisikkan karena telah membuat A Kiki tersesat. Padahal ini pertama kalinya kakak itu ke Curug Cileat. Harusnya pengalaman pertama itu indah, huhu. Maafkan saya yang terlalu PeDe ini, A Kiki...
Setelah ganti baju dan melaksanakan shalat, santap malam diadakan.
Canda tawa saat rebutan lauk cukup menghilangkan semua rasa gundah setelah tersesat, tadi.
Pagi harinya, kami berangkat menuju Curug Cileat. Tentu saja sampai sana langsung terjun ke dalam kubangan(?) air bertemperatur sekitar 7 derajat celsius itu. Kurang afdol kalau ke Cileat tanpa main air hahaha.
Sebenarnya apa pula yang saya tulis ini? *lol*
Intinya, tanggal 24 Oktober itu benar-benar fantastik. Bertahun-tahun saya mengunjungi tempat ini, ini kali pertamanya mengalami apa yang disebut tersesat.
Ya sudahlah, yang penting tetap sampai di sana dan bisa pulang ke rumah dengan selamat sentosa. Apalagi dapat oleh-oleh baju seragam penuh lumpur sawah pula.
Dan... ah. Beberapa foto dan video kenang-kenangan.
Sign,
Melati Widia P.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Comment if you dare